Hari raya Idul Fitri lalu, warga Tolikara, Papua, dikagetkan dengan kerusuhan yang berujung pada terbakarnya sejumlah kios dan sebuah rumah ibadah umat Islam. Bagaimana media online memberitakan peristiwa tersebut?
Api yang semula melahap kios pedagang dan rumah ibadah umat Islam di Tolikara, Papua, pada Idul Fitri 17 Juli lalu, kini merembet ke media sosial. Berbagai macam kecaman dan kutukan beterbaran. Beberapa mengandung nada yang mengkhawatirkan: agresi antar-umat beragama. Tak lama, peristiwa itu mendapat reaksi balasan—di antaranya penggerudukan Gereja Injili di Solo dan intimidasi dengan pembakaran pintu Gereja Kristen Jawa di Purworejo.
Sayangnya media, yang semestinya menjadi rujukan publik untuk melihat kasus ini secara jernih, malah memperkeruh suasana. Terutama dalam media online, kerja jurnalisme justru mengaburkan fakta, membuat kesimpulan prematur, dan membentuk opini publik yang menyesatkan. Ini terjadi karena media menulis berita tanpa sensitivitas serta dengan data yang sepotong-sepotong dan belum diverifikasi.
Dalam penilaian kami, terdapat beberapa masalah dalam peliputan media atas insiden Tolikara:

1. Mengorbankan akurasi demi kecepatan dan klik

Banyak media secara tergesa melaporkan telah terjadi pembubaran solat Id dan pembakaran tempat ibadah. Kompas.com dan MetroTVNews.com, dalam catatan kami, adalah media yang paling awal memberitakan insiden Tolikara. Keduanya menaikkan berita tersebut masing-masing pada Pk. 9.46 dan 9.59 WIB, belum genap 1 jam setelah peristiwa itu terjadi. Sementara Kompas.com hanya memakai satu narasumber dari kepolisian, MetroTVNews.com bahkan tak memakai satu pun narasumber. Pemberitaan MetroTVNews.com tersebut juga tak memperlihatkan tanda-tanda ditulis oleh wartawan yang secara langsung berada di lapangan.
Media lain pun latah, tak mau kalah cepat. Kualitas jurnalisme yang dihasilkan pun tak kalah cacat. Untuk insiden segenting ini, media-media tersebut malah dengan gagah menurunkan berita minim sumber atau hanya memakai sumber resmi, serta tanpa konfirmasi dari pihak yang dituduh melakukan pembakaran.
Akhirnya terjadi disinformasi: apa yang dibakar? Tempat ibadah itu dibakar atauterbakar? Apakah massa jemaat Gereja Injili di Indonesia (GIDI) membakar kiosbeserta tempat ibadah, atau membakar kios yang apinya kemudian merembet ke tempat ibadah? Benarkah ada pembubaran solat Id, atau yang terjadi adalah larangan menggunakan speaker?
Dalam isu sensitif semacam ini, penting bagi media untuk melakukan verifikasi agar informasi yang disebarnya tidak meluaskan ketegangan. Namun media seolah tak mempedulikan kerugian masyarakat yang ditimbulkan akibat pemberitaannya. Media hanya peduli berapa klik mampir ke situs mereka.

2. Memasak berita dari bahan yang tak teruji

Dalam masa yang keruh ini, beredar pula sebuah edaran dengan kop surat GIDI. Tanpa penelusuran siapa yang pertama kali menyebar surat ini di media sosial, beberapa media dengan sigap langsung menggorengnya menjadi berita, seperti yang dilakukan oleh VivaJPNN, dan RepublikaOnline.
Keberadaan surat edaran GIDI masih simpang siur. Pernyataan-pernyataan seputarnya saling bertentangan. Kapolri Badrodin Haiti mengindikasikan bahwa GIDI Tolikara mengakui menerbitkan surat pelarangan solat Id. Sementara itu Menteri Koordinator Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno menyatakan sebaliknya, bahwa GIDI tidak mengeluarkan surat tersebut dan bahwa ia curiga ada pihak lain yang membuat surat tersebut. Belakangan, beberapa orang atas nama pribadi menyatakan kepalsuan surat tersebut setelah melakukan analisis digital atasnya.
Dari semua pemberitaan, sejauh pemantauan kami, tak satu pun yang menjadikan Nayus Wenda dan Marthen Jingga, dua nama yang membubuhkan tandatangan dalam surat tersebut, sebagai sumber berita. Padahal, kesaksian keduanya penting untuk memahami insiden ini.

3. Gagal memahami konteks peristiwa

Media gagal memberitkan peristiwa di Tolikara dengan komprehensif. Kebanyakan media fokus pada penyerangan dan pembakaran yang terjadi dan abai melihat rangkaian peristiwa sebelumnya, yaitu penembakan dua belas orangyang menyebabkan satu orang anak berumur lima belas tahun tewas.
Penembakan ini dibahas sambil lalu, misalnya, melalui pernyataan Menteri Polhukam Tedjo Edhy Purdjianto yang menegaskan bahwa hal itu bukan disengaja.  Kompas.com pun memuat mentah-mentah tanpa mengkritisi pernyataan arogan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal Fuad Basya: "Sekarang begini saja, kalau itu peluru polisi, ya wajar, kan dia punya senjata. Begitu juga TNI. Kalau diserang, lalu nembak, ya wajar saja”.
Media tertegun dengan peristiwa terbakarnya rumah ibadah—yang memang merupakan tragedi—namun lalai untuk mempertanyakan lebih lanjut mengenai tragedi kemanusiaan akibat pembunuhan yang “wajar” dan “bukan disengaja” tersebut. 
Memenggal peristiwa Tolikara menjadi semata soal terbakarnya rumah ibadah adalah ajakan untuk melihat dalam bingkai yang sempit. Konsekuensinya, menjauhkan publik dari konteks yang sangat mungkin dapat membantu memahami mengapa peristiwa ini dapat terjadi.
Peristiwa ini juga menambah riwayat panjang kasus kekerasan di Papua dan, sekali lagi, media massa arusutama bungkam. Padahal, kali ini, kekerasan berada tepat di bawah hidungnya.

4. Beritakan dulu, ralat kemudian

Screensay.com mencatat adanya berita yang dihapus atau direvisi. Salah satu contoh yang banyak beredar di media sosial adalah berubahnya berita Metro TV News. Isi berita tersebut menjadi lebih pendek dengan menghilangkan dramatisasi peristiwa seperti kalimat “Saat imam mengucap takbir pertama, tiba-tiba beberapa orang mendekati jamaah ...”. Judul berita pun berubah dari “Saat Imam Takbir Pertama, Sekelompok Orang Datang dan Lempari Musala di Tolikara” menjadi “Amuk Massa Terjadi di Tolikara”.
Dari sini, redaksi tampak tidak memikirkan konsekuensi dari sebuah berita sebelum memuatnya, dan baru merevisi berita setelah mendapat tanggapan. Revisi ini pun tidak sesuai dengan Pedoman Media Siber karena tidak menyertakan keterangan perubahan berita.

5. Menyiram api yang dinyalakan sendiri

Pada permulaan kasus, media gencar memunculkan berita yang membuat keruh suasana. Tanpa akurasi dan konteks yang memadai, media—baik disengaja atau tidak—dapat menggiring opini publik untuk menyakini yang terjadi di Tolikara adalah konflik agama. Padahal, informasi yang ada tidak cukup untuk menyimpulkan demikian. Informasi yang keliru bisa berdampak fatal meluasnya konflik ke daerah lain.
Namun belakangan media ramai memunculkan pernyataan tokoh-tokoh agama yang menyerukan perdamaian dan toleransi, tanpa menyadari bahwa media sendirilah yang pada mulanya memicu keresahan di tengah publik.

6. Provokatif  

Insiden terbakarnya rumah ibadah umat Islam di Tolikara adalah kabar yang cukup teruk. Sejumlah media, alih-alih menyajikan berita yang menjernihkan peristiwa, malah mengeruhkan keadaan dengan berita-berita provokatif.
RepublikaOnline terdepan dalam melakukan hal ini.
Dengan memakai mulut Ketua Aliansi Nasional Anti Syi’ah (ANNAS) Athian Ali, media tersebut memuat dua berita yang menuding keterlibatan “Zionis Israel” dalam GIDI dan, dengan demikian, harus dibubarkan. Dalam pemberitaan lain,RepublikaOnline bahkan melansir pernyataan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Imail Yusanto bahwa peristiwa tersebut terjadi karena kebencian—bukan hanya jemaat GIDI, melainkan juga—masyarakat Papua terhadap umat Islam.
Tidak cukup dengan meminjam mulut narasumber, RepublikaOnline juga menukar kata-kata narasumber dengan istilah yang lebih dramatis dalam tajuk berita “MUI: Pembakar Masjid di Tolikara Tak Pantas Hidup di Indonesia”.
Media ini mengganti kutipan narasumber yang menjadi judul berita tersebut. Kutipan tersebut seharusnya berbunyi “Mereka yang seperti itu tidak boleh tinggaldi negara ini [cetak miring oleh kami]”. Perubahan istilah “tinggal” menjadi “hidup” memiliki pengertian berbeda dan lebih keras—bahwa nyawa pelaku layak direnggut.
Dalam berita-berita tersebut, RepublikaOnline tidak sedang melakukan jurnalisme, melainkan provokasi yang bisa mengarah pada konflik lebih besar.

7. Narasumber elitis

Kebanyakan media asal Jakarta menggantungkan penulisan beritanya dari sumber-sumber resmi dan elit. Kepolisian, tentara, dan pejabat—yang kebanyakan berada di Jakarta—menjadi narasumber dominan yang dipilih media. Hampir tak ada suara warga sipil Tolikara, yang mungkin bisa memberikan informasi lebih tepat.
Model pemberitaan semacam ini memperlihatkan mayoritas produksi berita masih berpusat di Jakarta dan media memberitakan dengan menggilir narasumber berita dari satu elit ke elit yang lain. Karenanya sulit untuk mempercaya media berhasil merepresentasi peristiwa ini dengan jernih. Mayoritas media disadari atau tidak tak lebih dari corong aparat dan pejabat.

Atas dasar itu, kami mengimbau media dan wartawan yang meliput setiap peristiwa kekerasan untuk pertama-tama berkerja bagi kepentingan publik. Pada saat ini tidak yang lebih penting bagi publik selain kedamaian. Untuk tujuan itu, kode etik jurnalistik perlu menjadi pegangan bagi kerja di lapangan.
Imbauan juga kami sampaikan pada publik agar tidak mudah terprovokasi oleh pemberitaan yang tidak akurat. Publik hendaknya memeriksa setiap informasi yang diterimanya. Apakah sumbernya kredibel? Apakah berita tersebut telah memuat pernyataan dua pihak yang berkonflik (cover both sides)? Apakah berita tersebut menyajikan data yang bisa dipercaya? Dengan menimbang hal ini, publik hendaknya tidak sembarang menyebar informasi yang belum terverifikasi kebenarannya.

Post a Comment

 
Top