9Trendingtopic - HARI ini, tidak seperti biasanya saya hanya beraktivitas di rumah. Selain saran dari theraphist kemarin agar me-rilekskan tubuh dan karena butuh supply oksigen lebih dan karena kendaraan pribadiku sedang digunakan suamiku, jadi saya hari ini berdiam diri di kamar sambil membaca buku dan berinteraksi dengan teman-teman melalui medsos.
Karena sudah mulai bosan, saya keluar rumah menggoda kucing-kucing lucu di teras.
“Neng…. Beli dendeng, Neng? Ikan asin nih bagus-bagus. Keripik juga ada,” ujar seseorang tiba-tiba.
Saya menoleh. Sesosok wanita dengan wajah teduh berbalut kerudung dengan keranjang plastik terlihat tersenyum memandang saya.
Bimbang menyapa, tidak pingin beli sebenarnya. Tapi melihat wajah teduhnya, rasanya tak tega menolaknya.
“Bu… masuk sini, pagernya gak dikunci,” kata saya tersenyum.
Beliau pun membalas senyuman saya, “Iya, Neng…” jawabnya.
Lalu kami pun duduk di teras.
“Ada apa aja, Bu?” tanya saya.
“Ini dendeng, ikan asin jambal, teri medan, ikan asin selar, abon, peyek, keriping singkong,” jawabnya.
“Berapaan keripik singkong?” tanya saya.
“8000-an, Neng…” jawabnya.
“Saya beli ini aja yaa, Bu,” kata saya mengambil sebungkus keripik sinkong.
“Iya, Neng… Alhamdulillah. Penglaris pagi..,” katanya.
“Ibu ini sudah siang, berarti sejak pagi ibu belum ada yang beli?” tanya saya.
“Iya, Neng… orang mungkin belum pingin makan daging yaa habis lebaran. Di rumahnya juga masih banyak kue, jadi gak beli keripik,” katanya sambil tersenyum.
“Ini bikin sendiri atau ambil dari yang lain, Bu?” tanya saya.
“Kalau keripik saya bikin sendiri, kalau dendeng sama ikan asin ngambil di orang. Gak laku dipulangin,” jawabnya. “Panas amat cuacanya yaa, Neng.”
“Ooh… saya ambilin minum yaa, Bu…”
“Ih Neng, jadi ngerepotin,” katanya.
“Ahh gak ngerepotin juga, Bu…yang repot mah pabriknya, saya mah cuma ambil dari ruang tamu doang,” kata saya sambil tertawa, masuk rumah sebentar mengambil dompet dan air minum.
“Ah.. Jadi numpang ngaso nih Neng yaa ibu… Panas… Pegel juga jalan…”
“Oh iyaa, Bu…silahkan… Mau di dalem aja apa?” saya tawarkan.
“Ahh enggak Neng enak di sini, rumah Neng adem, rimbun pepohonan, jadi banyak angin,” katanya sambil menatap sekeliling rumah.
“Bapak kerja apa, Bu?” tanya saya.
“Bapak mah apa aja Neng, ngikut-ngikut orang kerja apa aja, dulunya kerja di proyek bangunan gitu. Sekarang udah tua. Sebisa-bisanya aja,” jawabnya.
“Anak ada berapa, Bu?” tanya saya.
“Anak saya 3, 2 laki-laki, 1 perempuan. Yang perempuan di Surabaya, yang laki-laki satu di Lampung, satu di Bogor.”
“Waah lebaran habis ngumpul dong Bu yaaa….” kata saya bersemangat.
Tiba-tiba ibu itu diam, matanya berkaca-kaca. “Enggak Neng…,” jawabnya lirih.
Saya tercekat… Astaghfirullah… Saya salah berucap… Betapa menyesalnya saya. “Ibu… maaf yaa kalau saya salah bicara,” kata saya penuh penyesalan.
“Enggak Neng… gak apa-apa. Anak dan menantu Ibu gak mau dekat Ibu. Lebaran jarang datang, hari biasapun begitu. Alasannya jauh, butuh biaya banyak kalau ke sini. Yang satu malah gak pernah pulang sama sekali, gara-gara istrinya salah paham, ibu bilangin jangan tidur pagi, pamali, nanti jauh rejeki, biar gak ngantuk pagi mending beres-beres, nemenin anak main. Terus dia ngadu ke anak Ibu. Enggak tau apa yang disampaikan pokoknya anak Ibu marah, Ibu gak terima, sakit hati Ibu, anak Ibu lebih percaya istrinya daripada ibunya. Anak Ibu gak berpikir, 9 bulan Ibu mengandung, setengah mati melahirkan, susah-payah membesarkan, menyekolahkan, mana mungkin Ibu seorang yang jahat?
“Anak Ibu yang satu lagi gitu juga. Waktu anak Ibu yang perempuan kelas 3 SMA, ibu gak punya uang buat bayar sekolah, Ibu minta bantuan anak. Istrinya gak terima, anak Ibu ngasih ngumpet-ngumpet. Sekalinya ketahuan, jadi ribut besar Neng… Ibu marah Neng… Bukan maksud Ibu minta balas jasa membesarkan anak Ibu, tapi rasanya wajar saja kalau ibu minta bantuan sama anak, kalau bukan sama anak sama siapa lagi? Kalau Ibu bisa, ibu mana yang mau nyusahin anaknya? Ibu mana yang mau ngerepotin anaknya? Malah kalau ada, ibu yang mau ngasih ke anak. Tapi akhirnya mantu Ibu gak pernah datang lagi ke sini, paling anak Ibu aja. Itupun kalau dia mau ngasih, Ibu tolak.
“Sekarang Ibu gak butuh apa-apa, anak-anak sudah berkeluarga semua. Cuma mikirin makan aja berdua sama bapak. Seada-adanya aja. InsyaAllah rejeki dari Allah selalu ada.”
“Anak ibu yang perempuan?” tanya saya.
“Anak Ibu yang perempuan anaknya penurut, tapi suaminya sangat keras, istri harus turut kemauannya semua. Ibu juga gak tau kenapa, semenjak nikah dibawa ke Surabaya, selalu ada aja alasan suaminya untuk tidak datang ke sini baik lebaran atau hari biasa. Istrinya harus selalu ada buat melayani dia, mungkin dia lupa dari mana istrinya lahir ke dunia.
“Kadang ibu mikir, coba mengingat-ingat lagi, adakah ini karena sikap Ibu pada orang tua Ibu atau pada mertua. Tapi rasanya Ibu selalu berusaha memperlakukan orang tua Ibu dan mertua sebaik yang Ibu bisa. Berusaha beri contoh sama anak-anak gimana caranya menyayangi orang tua, ternyata hasilnya tidak sesuai harapan. Tapi sudahlah, mungkin ini bagian dari ujian keikhlasan.
“Tapi, sekarang Ibu udah bisa terima, Anak menantu Ibu sudah Ibu maafkan, walaupun mereka tidak pernah minta maaf sama Ibu. mungkin ini jalan Allah menguji sabar Ibu buat menghapus dosa dan khilaf Ibu sebelumnya.
“Permintaan ibuIcuma, kalau sakaratul maut tiba, jika anak Ibu tidak ada yang menuntun Ibu bersyahadat nanti, mudah-mudahan Allah kirimkan seseorang yang bisa melakukannya. Hati Ibu bersih tulus ikhlas mendoakan, semoga anak-anak Ibu rumah tangganya bahagia, berkah, kecukupan dan di masa tuanya tidak diperlakukan anak mereka seperti mereka memperlakukan Ibu.”
Saya terdiam terpaku mendengar ceritanya. Seperti apa nasibku kelak di akhir hayat? Sanggupkah aku memaafkan anak dan menantuku ketika mereka khilaf? Sanggupkah mereka memaafkanku ketika aku khilaf?
Lamunanku buyar ketika ibu itu mengusap pundakku. “Neng…, Ibu keliling lagi yaaa… Udah seger lagi ini,” katanya tersenyum.
“Ini Bu bayarannya,” kataku.
Mata kami beradu.
“Sayangi orang tua dan mertua ya, Neng… Gak ada orang tua dan mertua yang tidak sayang sama anak dan menantu. Walaupun marahnya, pasti selalu ada doa untuk anaknya,” pesannya sambil berdiri dengan wajah tetap tersenyum.
Saya tersenyum. Sambil melihatnya berlalu, hati saya berujar: Ibu, semoga Allah membolak-balikan hati anak dan menantu Ibu.
Semoga doa Ibu di-ijabah Allah dan semoga keikhlasan Ibu memaafkan anak dan menantu Ibu dibalas dengan surga…
Karena sudah mulai bosan, saya keluar rumah menggoda kucing-kucing lucu di teras.
“Neng…. Beli dendeng, Neng? Ikan asin nih bagus-bagus. Keripik juga ada,” ujar seseorang tiba-tiba.
Saya menoleh. Sesosok wanita dengan wajah teduh berbalut kerudung dengan keranjang plastik terlihat tersenyum memandang saya.
Bimbang menyapa, tidak pingin beli sebenarnya. Tapi melihat wajah teduhnya, rasanya tak tega menolaknya.
“Bu… masuk sini, pagernya gak dikunci,” kata saya tersenyum.
Beliau pun membalas senyuman saya, “Iya, Neng…” jawabnya.
Lalu kami pun duduk di teras.
“Ada apa aja, Bu?” tanya saya.
“Ini dendeng, ikan asin jambal, teri medan, ikan asin selar, abon, peyek, keriping singkong,” jawabnya.
“Berapaan keripik singkong?” tanya saya.
“8000-an, Neng…” jawabnya.
“Saya beli ini aja yaa, Bu,” kata saya mengambil sebungkus keripik sinkong.
“Iya, Neng… Alhamdulillah. Penglaris pagi..,” katanya.
“Ibu ini sudah siang, berarti sejak pagi ibu belum ada yang beli?” tanya saya.
“Iya, Neng… orang mungkin belum pingin makan daging yaa habis lebaran. Di rumahnya juga masih banyak kue, jadi gak beli keripik,” katanya sambil tersenyum.
“Ini bikin sendiri atau ambil dari yang lain, Bu?” tanya saya.
“Kalau keripik saya bikin sendiri, kalau dendeng sama ikan asin ngambil di orang. Gak laku dipulangin,” jawabnya. “Panas amat cuacanya yaa, Neng.”
“Ooh… saya ambilin minum yaa, Bu…”
“Ih Neng, jadi ngerepotin,” katanya.
“Ahh gak ngerepotin juga, Bu…yang repot mah pabriknya, saya mah cuma ambil dari ruang tamu doang,” kata saya sambil tertawa, masuk rumah sebentar mengambil dompet dan air minum.
“Ah.. Jadi numpang ngaso nih Neng yaa ibu… Panas… Pegel juga jalan…”
“Oh iyaa, Bu…silahkan… Mau di dalem aja apa?” saya tawarkan.
“Ahh enggak Neng enak di sini, rumah Neng adem, rimbun pepohonan, jadi banyak angin,” katanya sambil menatap sekeliling rumah.
“Bapak kerja apa, Bu?” tanya saya.
“Bapak mah apa aja Neng, ngikut-ngikut orang kerja apa aja, dulunya kerja di proyek bangunan gitu. Sekarang udah tua. Sebisa-bisanya aja,” jawabnya.
“Anak ada berapa, Bu?” tanya saya.
“Anak saya 3, 2 laki-laki, 1 perempuan. Yang perempuan di Surabaya, yang laki-laki satu di Lampung, satu di Bogor.”
“Waah lebaran habis ngumpul dong Bu yaaa….” kata saya bersemangat.
Tiba-tiba ibu itu diam, matanya berkaca-kaca. “Enggak Neng…,” jawabnya lirih.
Saya tercekat… Astaghfirullah… Saya salah berucap… Betapa menyesalnya saya. “Ibu… maaf yaa kalau saya salah bicara,” kata saya penuh penyesalan.
“Enggak Neng… gak apa-apa. Anak dan menantu Ibu gak mau dekat Ibu. Lebaran jarang datang, hari biasapun begitu. Alasannya jauh, butuh biaya banyak kalau ke sini. Yang satu malah gak pernah pulang sama sekali, gara-gara istrinya salah paham, ibu bilangin jangan tidur pagi, pamali, nanti jauh rejeki, biar gak ngantuk pagi mending beres-beres, nemenin anak main. Terus dia ngadu ke anak Ibu. Enggak tau apa yang disampaikan pokoknya anak Ibu marah, Ibu gak terima, sakit hati Ibu, anak Ibu lebih percaya istrinya daripada ibunya. Anak Ibu gak berpikir, 9 bulan Ibu mengandung, setengah mati melahirkan, susah-payah membesarkan, menyekolahkan, mana mungkin Ibu seorang yang jahat?
“Anak Ibu yang satu lagi gitu juga. Waktu anak Ibu yang perempuan kelas 3 SMA, ibu gak punya uang buat bayar sekolah, Ibu minta bantuan anak. Istrinya gak terima, anak Ibu ngasih ngumpet-ngumpet. Sekalinya ketahuan, jadi ribut besar Neng… Ibu marah Neng… Bukan maksud Ibu minta balas jasa membesarkan anak Ibu, tapi rasanya wajar saja kalau ibu minta bantuan sama anak, kalau bukan sama anak sama siapa lagi? Kalau Ibu bisa, ibu mana yang mau nyusahin anaknya? Ibu mana yang mau ngerepotin anaknya? Malah kalau ada, ibu yang mau ngasih ke anak. Tapi akhirnya mantu Ibu gak pernah datang lagi ke sini, paling anak Ibu aja. Itupun kalau dia mau ngasih, Ibu tolak.
“Sekarang Ibu gak butuh apa-apa, anak-anak sudah berkeluarga semua. Cuma mikirin makan aja berdua sama bapak. Seada-adanya aja. InsyaAllah rejeki dari Allah selalu ada.”
“Anak ibu yang perempuan?” tanya saya.
“Anak Ibu yang perempuan anaknya penurut, tapi suaminya sangat keras, istri harus turut kemauannya semua. Ibu juga gak tau kenapa, semenjak nikah dibawa ke Surabaya, selalu ada aja alasan suaminya untuk tidak datang ke sini baik lebaran atau hari biasa. Istrinya harus selalu ada buat melayani dia, mungkin dia lupa dari mana istrinya lahir ke dunia.
“Kadang ibu mikir, coba mengingat-ingat lagi, adakah ini karena sikap Ibu pada orang tua Ibu atau pada mertua. Tapi rasanya Ibu selalu berusaha memperlakukan orang tua Ibu dan mertua sebaik yang Ibu bisa. Berusaha beri contoh sama anak-anak gimana caranya menyayangi orang tua, ternyata hasilnya tidak sesuai harapan. Tapi sudahlah, mungkin ini bagian dari ujian keikhlasan.
“Tapi, sekarang Ibu udah bisa terima, Anak menantu Ibu sudah Ibu maafkan, walaupun mereka tidak pernah minta maaf sama Ibu. mungkin ini jalan Allah menguji sabar Ibu buat menghapus dosa dan khilaf Ibu sebelumnya.
“Permintaan ibuIcuma, kalau sakaratul maut tiba, jika anak Ibu tidak ada yang menuntun Ibu bersyahadat nanti, mudah-mudahan Allah kirimkan seseorang yang bisa melakukannya. Hati Ibu bersih tulus ikhlas mendoakan, semoga anak-anak Ibu rumah tangganya bahagia, berkah, kecukupan dan di masa tuanya tidak diperlakukan anak mereka seperti mereka memperlakukan Ibu.”
Saya terdiam terpaku mendengar ceritanya. Seperti apa nasibku kelak di akhir hayat? Sanggupkah aku memaafkan anak dan menantuku ketika mereka khilaf? Sanggupkah mereka memaafkanku ketika aku khilaf?
Lamunanku buyar ketika ibu itu mengusap pundakku. “Neng…, Ibu keliling lagi yaaa… Udah seger lagi ini,” katanya tersenyum.
“Ini Bu bayarannya,” kataku.
Mata kami beradu.
“Sayangi orang tua dan mertua ya, Neng… Gak ada orang tua dan mertua yang tidak sayang sama anak dan menantu. Walaupun marahnya, pasti selalu ada doa untuk anaknya,” pesannya sambil berdiri dengan wajah tetap tersenyum.
Saya tersenyum. Sambil melihatnya berlalu, hati saya berujar: Ibu, semoga Allah membolak-balikan hati anak dan menantu Ibu.
Semoga doa Ibu di-ijabah Allah dan semoga keikhlasan Ibu memaafkan anak dan menantu Ibu dibalas dengan surga…
Oleh: Ernydar Irfan
Sumber : Islampos.com
Post a Comment